Qomariyah Ponco Pasangan Bupati Pekalongan
Saya lahir dari kehidupan keluarga yang sederhana di Kampung Buaran, Pekalongan, sebagai anak sulung dari sembilan bersaudara. Akan tetapi, orang tua saya memiliki keistimewaan tersendiri. Ibu adalah guru TK dan mengajar pendidikan agama, sedangkan Ayah sebagai seorang kiai. Mereka sudah terbiasa hidup melayani masyarakat.
Mulai SD sampai di Tsanawiyah, saya sekolah di kampung sendiri. Sejujurnya saya akui, prestasi pendidikan saya di SD biasa-biasa saja. Bahkan di kelas 3 SD, saya nyaris tak naik kelas. Saya naik, tapi percobaan. Artinya bila saya tidak bisa mengikuti pelajaran, saya bisa turun kembali. Waktu itu, saya memang tak pernah belajar serius.
Sejak kelas 5 SD, saya mulai giat belajar. Hasilnya, ketika kelas 6, saya jadi bintang kelas. Prestasi saya semakin bagus. Mulai kelas 1-3 SMP, saya jadi bintang kelas terus, tanpa putus. Setelah itu, saya menimba ilmu di Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif di Denayar, Jombang. Di sana, saya mulai memiliki wawasan yang lebih luas. Pondok pesantren saya masuk kategori terkenal, sehingga anak didiknya datang dari berbagai wilayah di Tanah Air.
Prestasi saya pun semakin bagus. Di SMA, saya bukan jadi bintang kelas lagi, melainkan sudah menjadi bintang pelajar. Semua ini tentu berkat dorongan orang tua. Selanjutnya, saya kuliah di Fakultas Syari'ah, Peradilan Agama, IAIN Wali Songo, Semarang. Setelah mengambil S2 di Islamic Studies Mc Gill University Canada, tahun 1992-1994, saya ambil program doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Selain konsentrasi belajar, saya juga aktif di berbagai organisasi. Misalnya saja pengurus Fatayat NU dan Pembina Muslimat Cabang Pekalongan. Saya juga aktif sebagai Pengurus Pesantren Darul Hikmah Buaran, anggota Komisi Fatwa MUI Kabupaten Pekalongan, dan menjadi pengurus cabang Partai Kebangkitan Bangsa. Akhirnya saya terpilih menjadi wakil Bupati Pekalongan.
Karena pada waktu itu saya berstatus pegawai negeri, saya cuti sementara untuk menjadi kandidat calon wakil bupati. Semua itu saya lakukan karena tuntutan, dorongan, serta dukungan dari masyarakat. Negara pun mengizinkan. Akhirnya, saya jalani amanah dari masyarakat dengan sungguh-sungguh.
Ketika menjabat wakil bupati, banyak kendala yang saya hadapi, terutama untuk mengejar tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah. Betapa tidak, di daerah saya, masih 70 persen warga yang mampu menyelesaikan SMP.
Lepas masa jabatan wakil bupati, saya mencalonkan diri menjadi bupati. Ketika proses pemilihan, memang dari luar terkesan masyarakat terbelah dua. Tapi menurut saya itu bukan terbelah, masyarakat punya dua kepentingan yang berbeda dalam menentukan pilihan kandidatnya.
Saya kira perbedaan pendapat di bidang pilihan politik itu wajar saja. Setelah itu, kita punya komitmen, siapa yang menang dia adalah milik bersama. Kami tak akan memeliharan perbedaan itu terus-menerus. Dalam beberapa hari ke depan ini, memang saya rasakan masih ada perbedaan. Tetapi itu akan kembali dengan sendirinya kepada sistem